[Step 1] Yook Mendata Anggota Keluarga


Mendata anggota keluarga yang akan dimasukkan dalam branch family, menjadi sebuah pertimbangan yang benar-benar harus dipikirkan oleh kami, orangtuanya.  Bukan tidak ingin memberitahukan silsilah secara lengkap, dalam beberapa generasi. Namun sejujurnya kurangnya informasi lengkap yang kami sendiri pahami membuat kami ragu hingga  takut menjadi salah paham.

Tujuan dari proyek Ini pun  sebenarnya agar generasi anak-anak  kami tidak menjadi lupa dan abai dengan generasi sebelumnya.  Selain karena perbedaan jarak dan semakin berjaraknya kemampuan bertemu secara langsung akibat kemudahan komunikasi secara online.  Padahal silaturahmi secara langsung akan berbeda rasanya.  Tapi kenyataannya berbagai alasan membuat komunikasi online menjadi pilihan saat ini hingga sesuatu yang dapat diusahakan untuk bertemu fisik terasa dimanjakan dan dimaklumi bersama.

Keputusan awal membuat branch family menjadi 4 generasi, artinya dimulai dari nenek saya atau buyutnya anak-anak, namun idealisme berubah di saat merancang proyek ini bersama.  Darimana dan bagaimana kami dapatkan fotonya? Apakah bisa? Setelah berdiskusi, berembug dan akhirnya terjadi proses tawar menawar, babahnya bocah berkata, kita mulai dari generasi kami saja sebagai orangtua plus nenek-kakek nya anak-anak (orangtua dari kami).

Kesulitan suami (babahnya bocah) cukup masuk akal.  Kebetulan suami adalah anak bungsu yang memiliki banyak kakak diatasnya dengan usia kakak pertamanya saat ini memasuki usia adeknya (Alm) mama saya.  Dengan usia saya saat ini masih 35 tahun, saya memiliki keponakan dari suami, yang berusia 27 tahun dengan usia yang sama dengan usia adik dan sepupu saya.  Ditambah jumlah saudara yang banyak dan keponakan yang lebih banyak lagi. Jauh berbeda dengan saya yang memiliki jumlah saudara sedikit, dan belum ada keponakan.

Proses pendataan melibatkan anak-anak dengan cara mengajak bercerita, mencoba memancing mereka untuk mengingat apakah mereka tahu paman dan bibinya? Ingatkah dengan namanya? Bukan hanya sekedar panggilan tante, om, uwak dsb.  Termasuk menanyakan perasaannnya ketika mengingat bertemu dengan sosok siapa saja dalam lingkaran keluarga kami.

"Ingat ga?" ujar babah bocah saat menyebutkan sebuah nama keponakan dari salah satu kakaknya yang berada di luar kota.

"Gak.  Itu yang mana? Pernah ketemu abang?"  Tanya abang.

"Ya udah, coba tulis dulu, siapa saja abang ingat? Adek juga ya.. Ingat pernah ketemu siapa saja? Bilang sama abang, biar ditulis sama abang." Ujarku

Abang mengambil kertas dan mulai menulis siapa saja yang diingatnya.
Baru beberapa menit, "Abang gak tau lagi."

Mendata sambil mengingat (foto : dokpri @her.lya.inda)


Jleb.  Mata saya tertuju ke tulisan yang baru saja dibuatnya.  Yang ditulisnya adalah dua saudara saya yang masih hidup, dan saudara ipar dari kakak saya. Sementara saudara ipar dari adik saya, dan(alm) abang saya yang sudah meninggal saat saya masih berusia SMA dia tidak ingat. Oke, saya anggap masih wajar.  Abang saya, mungkin terlupa saya ceritakan, dan fotonya juga tidak ada.  Sementara adik ipar saya, karena mereka baru saja menikah tahun ini, sementara intensitas komunikasi terbatas selain jarak, hubungan dengan adik juga belum lama, kemudian mereka memutuskan untuk menikah.  Tapi... Saya terkejut dengan bagian saudara babahnya.  Tidak ada yang diingatnya #upps.  Apa yang terjadi? Padahal kalau lebaran, prioritas pertama kali adalah ke rumah mertua saya.  Tempat tinggal saudara suami, beberapanya masih satu kota dengan kami.  Sementara saudara saya semuanya berbeda kota. Apakah kesan atau memang usia paman dan bibi dari babahnya terpaut jauh, seolah-olah lebih layak di panggil nenek atau kakek, ketimbang paman atau bibi? Atau saudara dari pihak saya lebih suka dipanggil bunda, papa, dan babe sehingga kesannya lebih akrab dan sejajar dengan orangtuanya?

Ternyata, proses dalam proyek ini bukan hanya memperhatikan objek sesungguhnya (anak), namun orangtuanya juga perlu direview hal apa saja yang terlewat.

Setelah melihat tulisan tersebut, barulah aku mencoba memberi ingatan kepada anak-anak mengenai peristiwa yang mereka alami  bersama beberapa saudara kandung  babahnya.

"Kalo lebaran, abang itu suka ketemu sama saudara babah loh... yang dipanggil uwak-uwak itu.  Nah itulah saudara babah semua.  Ada juga yang dipanggil om.” Kataku mengingatkan.

“Semuanya? Saudara babah ya?” tanyanya seperti tidak yakin

“Iyaa...” jawabku

“Banyak sekali.  Tapi abang juga gak tau namanya.”

Aku pun jadi mengingat kembali, memang kenyataannya panggilannya kepada saudara iparku hanya sebatas panggilan uwak, tidak ditambahkan embel-embel nama.  Berbeda dengan saudara kandungku yang sejak awal menambahkan embel-embel nama setelah panggilan bunda, atau papa.  Jumlahnya juga tidak sebanyak iparku. 

“Jadi sudah tahu yang mana saudara babah?” tanyaku ulang

“Iya, abang ingat.  Pokoknya banyak.  Semuanya kan” jawabnya.

Sebenarnya aku tidak merasa yakin.  Selain jawabannya adalah ‘semuanya’ (jangan-jangan tamu-tamu yang datang, atau yang sebenarnya adalah di posisi sepupu, bukan saudara kandung babahnya, termasuk di semuanya..hmm..), dan karena seingatku, anak dari kakak iparku yang sudah menikah dan usianya lebih tua dari adikku, rasanya pernah dipanggil om oleh Abang.  Aah.. tapi sudahlah.  Paling tidak dia sudah bisa menggambarkan siapa saja yang masih dalam lingkup branch family meskipun urutannya bisa saja salah.  Itu baru pertanyaan tentang paman dan bibinya.  Belum membahas sepupu-sepupunya yang rentang usianya sangat beragam. hohooo..

“Umi..., Bagaimana kalau kita lihat album foto?”Abang memberi usul

“Adek mau juga.  Lihat foto  adek.” Adek ikut menimpali.

Ditahap pertama ini, jadilah kami memulainya dengan mendata, melihat foto lama dan bercerita-cerita untuk mengingat siapa-siapa saja yang masuk dalam branch family kami.

Besok ngapain lagi ya? Ada yang mau kasih usul?

#day4
#KuliahBundaSayang
#GameLevel3
#FamilyProject
#MyFamilyMyTeam





*With LOVE,

@her.lyaa

Posting Komentar

0 Komentar