Pendidikan Hak Siapa?

Pendidikan
sumber gambar : freepik

Beberapa waktu lalu terjadi percakapan diantara para ibu-ibu yang mengulas mahalnya biaya pendidikan saat ini.  Bukan hanya satu orang, namun hampir kebanyakan orangtua berpikir bahwa terjadi ketimpangan perbedaan  kesempatan anak-anak yang memiliki enonomi menengah ke bawah. 

Jika hanya berpikir mengenai gratis biaya uang sekolah bulanan,  nyatanya masih banyak biaya lain yang menyertai.  Dimulai dari pemakaian (misal) buku wajib yang dikeluarkan oleh sekolah setiap tahun ajaran baru.  Hal ini seolah sudah menjadi rahasia umum bahwa pembelian buku cetak penunjang pelajaran di sekolah merupakan salah satu proyek sampingan sekolah khusus dengan penerbit buku.  


Padahal jaman dulu, pemakaian buku paket tidak mesti penerbit yang sama, tidak perlu tahun cetak yang sama diantara siswa di tingkat yang sama.  Tidak perlu buku baru karena memiliki warisan buku dari kakaknya dari tahun sebelumnya.  Hanya judul bukunya saja yang wajib sama.  Pelajaran Matematika tidak mungkin juga menggunakan buku berjudul Bahasa Indonesia, itu sudah jelas.


Celotehan sejenis tidak berhenti diperangkat kebutuhan anak-anak.  Sistem zonasi yang mulai diterapkan membuat beberapa orangtua sempat kebingungan mendaftar anaknya di sekolah yang mereka inginkan.  


Keinginan dengan berbagai alasan adalah sesuatu yang sulit diucapkan hingga banyak cara dilakukan untuk mendapatkan hal yang diharapkan. Surat edaran tentang PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) bisa di baca di sini. 


Artikel yang dikeluarkan kemendikbud.go mengenai zonasi bisa dibaca di sini

Hmm.. Niat yang baik semoga bisa tercapai dengan kesungguhan dan tidak cucuk cabut termasuk di saat pergantian kabinet dengan sistem yang tidak kalah cucuk cabut. 

Satu hal lagi yang selalu menggelitik di setiap tahunnya mengenai aturan tes calistung bagi anak-anak usia masuk sekolah dasar.   Nah loohh..!


Mengutip Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 69 ayat (5) disebutkan jelas bahwa penerimaan peserta didik kelas 1 SD/MI sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain. Kemudian dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), tercantum persyaratan usia merupakan satu-satunya syarat calon peserta didik kelas 1 SD, yaitu berusia tujuh tahun atau paling rendah enam tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan. 


Masih mau main-main dengan tes calistung? Mengutip kemendikbud, "Pendidikan karakter harus ditekankan di PAUD, bukan calistung. Masuk SD tidak boleh ada tes calistung, karena pendidikan di lembaga PAUD bukan untuk mengajarkan calistung," ujar Sesjen Kemendikbud Didik Suhardi, dalam dialog dengan Bunda PAUD se-Sulawesi Selatan di Kota Makassar, Sulsel, Sabtu (16/2/2019). 


Curhatan beberapa guru paud menyatakan mereka diposisi sulit ketika tidak mengajarkan calistung, maka orangtua akan tidak akan menyekolahkan anaknya disana dengan alasan paud tidak akan menjamin kelulusan anaknya diterima di sekolah dasar yang masih menerapkan tes calistung.  (what? Kelulusan? Bukannya sekolah dasar itu artinya baru masuk sekolah tingkat paling rendah? Artinya, ya you knowlah, rendah = baru mulai, kalau sudah lulus ngapain lagi masuk dari dasar, hehe..) Jadi bagaimana dong? Toh dengan alasan seleksi ketat dikarenakan membludaknya jumlah siswa yang mau masuk sementara daya tampung tidak mencukupi, namun zonasinya padat anak-anak usia masuk sekolah dasar, akhirnya tes calistung secara sadar menjadi alasan tetap diterapkan di beberapa sekolah. 


Kembali mengutip dari website kemendikbud, disana akan jelas tertulis bagaimana pelaksanaan PPDB disertai dengan unduhan lengkap Permendikbud nomor 51 tahun 2018 tentang PPDB yang bukan hanya membahas siswa sekolah dasar, namun hingga strata usia menengah atas. 


Wahh... Dari tadi keseringan mengutip website kemendikbud nih! Iya dong iya..., karena kemendikbud merupakan kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang menyelenggarakan urusan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan (ntuh), biar ga katanya-katanya gitu deh.. 



Yok, lebih bijak memilih sekolah! Jika ternyata sekolah bukanlah pilihan, masih ada bentuk pendidikan alternatif lainnya yaitu non formal maupun informal. Lhaa... Apa lagi tuh? Memang legal? Mari perkaya informasi kita mengenai pendidikan demi anak-anak yang tumbuh cerdas dan bermanfaat minimal bagi dirinya dan maksimal seluas-luasnya disekitar mereka nantinya. 



*Tulisan merupakan subjektif pemikiran penulis disertai beberapa pendapat orang sekitar 

*Sumber kutipan diambil dari website kemendikbud lengkap dengan link terkait

*With LOVE,

@her.lyaa

Posting Komentar

1 Komentar

Yuk tinggalkan komentar baik dan cerdas🤗

Terimakasih... 🙏