Setelah mendapatkan ide, kamipun mulai menentukan
perencanaan langkah-langkah bertahap yang harus kami lakukan untuk menyelesaikan
proyek yang akan kami eksekusi keroyokan agar lebih tertata dan lebih
fokus. Target waktu untuk menyelesaikan
BF its my heart maksimal 12 hari. Jika
ternyata lebih dari perkiraan, kami anggap waktu toleransi dengan pertimbangan dan
alasan yang masuk akal. Ada beberapa hal
yang menjadi pertimbangan mengapa proyek ini perlu ada limit waktu. Kami (aku dan babahnya bocah) ingin mengamati
ketahanan dan konsistensi waktu bocah dalam mencapai tujuan dan fokus dengan
rencana yang telah dibuat. Namun kami
juga tidak membuat harga mati, oleh karena itu kami tetap memberikan toleransi
waktu dalam pengerjaannya.
Sementara tujuan kami membuat sebuah perencanaan terlebih
dahulu, dikarenakan kami ingin menjelaskan secara nyata, bahwa dalam sebuah
pekerjaan (proyek) perlu ada langkah-langkah agar ketika pelaksanaan nantinya
akan menjadi lebih mudah dan tidak asal-asalan, dengan harapan hasil yang akan
didapatkan sesuai dengan keinginan.
Kalaupun ternyata ada beberapa hal yang terjadi diluar rencana, hal itu
dapat menjadikan pembelajaran untuk mereka agar dapat menemukan solusi terbaik
atau cadangan rencana. Memang penjelasan
dan alasan seperti ini tidak kami ucapkan secara gamblang. Biarlah nanti menjadi pembelajaran dalam
setiap prosesnya.
Kebetulan altair yang suka berbicara apa saja, kami berikan
kepercayaan untuk menjadi humas dalam proyek ini. Kami ingin melihat seberapa besar kepercayaan
dirinya menghubungi anggota keluarga yang usianya terpaut jauh, dan tidak
setiap saat berinteraksi dengannya, untuk diminta mengirimkan foto terbaiknya
kepada kami sebagai bagian dari proyek ini.
Termasuk menjadi humas saat pembelian bahan-bahan yang tidak tersedia di
rumah, yaitu berinteraksi dengan pelayan toko hingga melakukan proses
pembayaran. Sementara khusus adek, ingin
kami berikan kepercayaan membuat tambahan apa saja sebagai pelengkap pada saat
sentuhan akhir.
“Humas? Apaa?? Jadi altair yang nelepon? Altair gak tau
nomornya. Terus altair bilang apa? “ sederet pertanyaan dilontarkannya
“Ya bicara seperti biasa, bilang baik-baik dan jangan lupa
kita mau fotonya, Ok?!” sahutku langsung
“Hmm..., baiklah.” Jawabnya pendek terlihat antara bingung dan ragu
“Adek?”
“Mau? Ya ga pa2. Ntar
ikut ngomong”
“Adek mayuu...” Adek bicara sambil menutup muka.
Kamipun tertawa bersama.
Setelah meminta kertas dan meminjam pensil Altair, aku
segera memulai diskusi tahap apa saja yang harus kami lakukan dalam proses
pengerjaannya.
“Kumpulin fotonya dulu dong umi.” Ujar Altair cepat.
“Bentuknya mau dibuat apa dulu nih?” Babahnya bocah
menimpali
“Adek mau lah tempel-tempel” Adek tidak mau kalah ikut
berpendapat
“Eh, nanti ditaruh dimana babah?” Altair mengajukan
pertanyaan
“Kira-kira sebesar apa ya?” Tanyaku untuk memancing mereka
kembali berpendapat
“Disini umi. Nanti Taruh di sini” Adek menunjuk meja
“Bukan adek..., itu bukan kue, tapi gambar foto.” Altair
mencoba menjelaskan
“Itu, foto semua.” Sahut adek sambil menunjuk bagian dinding
rumah yang memang merupakan bagian meletakkan semua foto kami.
“Bukan foto seperti itu adek, tapi gambar. Macam ini.” Altair kembali menjelaskan dengan
menunjukkan hasil gambar tantangan #30PicStory Challengenya.
“Ohh...gambar. Itu
taruh situ!” sahutnya lagi sambil menunjuk lemari tempat menggantung gambar
peraga punya Altair.
“Adeek... bukan juga.” Altair mulai terlihat kesal.
“Terus dimana? Bukan semuanya. “Adek juga mulai terlihat
kesal
Aku diam mengamati mereka bicara. Karena sebenarnya ini adalah sebuah proses mengamati. Dari proses ini tanpa sadar aku dipaksa untuk memahami kecenderungan dari setiap anak, apakah lebih menjadi people smart, word smart, self smart, atau picture smart dan smart yang lainnya. @her.lya.inda
“Abang... adek kesal!, adek tidak tahu.” Adek mengungkapkan
perasaannya, dan mulai terlihat akan menangis
“Iya iyaa. Adek
jangan kesal-kesal. Sini sayang abang.”
Abang mulai memeluk adek.
Aku tersenyum melihat mereka. Justru
disinilah latihannya. Bahkan sebelum
dimulai, ada hal-hal yang bisa terjadi diluar dugaan.
“Jadi kira-kira kita akan pasang dimana?” tanya babahnya
bocah kepada kami semua.
“Kita punya banyak pilihan dinding yang kosong, terserah mau
ditaruh dimana. Asalkan bukan di bagian
ruang tamu.” Kataku kepada mereka.
“Di dinding deket komputer aja umi.” Altair memberikan ide
“Boleh. Gimana babah?
Adek?” Tanyaku
“Adek setuju. Ya kan abang. Sayang abang.” Adek memeluk
Altair dengan mesra.
Kami semua tertawa melihat tingkah adek yang comel.
Ya..., Diskusi ini kami lakukan dengan santai. Aku sengaja melakukan diskusi dengan semua
anggota keluarga terutama anak-anak, agar mereka merasa dilibatkan sejak awal,
sehingga pada saat proses pengerjaan mereka menjadi lebih semangat dan merasa
memiliki rasa tanggungjawab atas keinginan mereka melakukan proyek ini. Selain itu sejujurnya aku ingin melatih
komunikasi dalam mengungkapkan sebuah pendapat, hingga menyampaikan hal-hal
yang memang ingin ditanyakan. Proses
yang terjadi secara alami lebih menyenangkan untuk dilakukan. Semangat saling menghargai dan menjaga
perasaan. Kesabaran menuntaskan perencanaan, hingga tak terasa waktu hampir menunjukkan
pukul sembilan malam. Saatnya anak-anak
untuk tidur dan beristirahat. Draft
rancangan langkah-langkah proyek sudah dibuat.
Tinggal menikmati prosesnya hingga proyek BF its my heart selesai.
foto coretan draft (gambar : dokpri)
The show will begin! Nantikan cerita kami selanjutnya ;)
#Day3
#KuliahBundaSayang
#GameLevel3
#FamilyProject
#MyFamilyMyTeam
*With LOVE,
@her.lyaa
0 Komentar
Yuk tinggalkan komentar baik dan cerdas🤗
Terimakasih... 🙏