Mendata anggota keluarga yang akan dimasukkan dalam branch
family, menjadi sebuah pertimbangan yang benar-benar harus dipikirkan oleh
kami, orangtuanya. Bukan tidak ingin
memberitahukan silsilah secara lengkap, dalam beberapa generasi. Namun
sejujurnya kurangnya informasi lengkap yang kami sendiri pahami membuat kami
ragu hingga takut menjadi salah paham.
Tujuan dari proyek Ini pun
sebenarnya agar generasi anak-anak
kami tidak menjadi lupa dan abai dengan generasi sebelumnya. Selain karena perbedaan jarak dan semakin
berjaraknya kemampuan bertemu secara langsung akibat kemudahan komunikasi
secara online. Padahal silaturahmi
secara langsung akan berbeda rasanya.
Tapi kenyataannya berbagai alasan membuat komunikasi online menjadi
pilihan saat ini hingga sesuatu yang dapat diusahakan untuk bertemu fisik
terasa dimanjakan dan dimaklumi bersama.
Keputusan awal membuat branch family menjadi 4 generasi,
artinya dimulai dari nenek saya atau buyutnya anak-anak, namun idealisme
berubah di saat merancang proyek ini bersama.
Darimana dan bagaimana kami dapatkan fotonya? Apakah bisa? Setelah
berdiskusi, berembug dan akhirnya terjadi proses tawar menawar, babahnya bocah
berkata, kita mulai dari generasi kami saja sebagai orangtua plus nenek-kakek
nya anak-anak (orangtua dari kami).
Kesulitan suami (babahnya bocah) cukup masuk akal. Kebetulan suami adalah anak bungsu yang
memiliki banyak kakak diatasnya dengan usia kakak pertamanya saat ini memasuki
usia adeknya (Alm) mama saya. Dengan
usia saya saat ini masih 35 tahun, saya memiliki keponakan dari suami, yang
berusia 27 tahun dengan usia yang sama dengan usia adik dan sepupu saya. Ditambah jumlah saudara yang banyak dan
keponakan yang lebih banyak lagi. Jauh berbeda dengan saya yang memiliki jumlah
saudara sedikit, dan belum ada keponakan.
Proses pendataan melibatkan anak-anak dengan cara mengajak
bercerita, mencoba memancing mereka untuk mengingat apakah mereka tahu paman
dan bibinya? Ingatkah dengan namanya? Bukan hanya sekedar panggilan tante, om,
uwak dsb. Termasuk menanyakan
perasaannnya ketika mengingat bertemu dengan sosok siapa saja dalam lingkaran
keluarga kami.
"Ingat ga?" ujar babah bocah saat menyebutkan
sebuah nama keponakan dari salah satu kakaknya yang berada di luar kota.
"Gak. Itu yang
mana? Pernah ketemu abang?" Tanya
abang.
"Ya udah, coba tulis dulu, siapa saja abang ingat? Adek
juga ya.. Ingat pernah ketemu siapa saja? Bilang sama abang, biar ditulis sama
abang." Ujarku
Abang mengambil kertas dan mulai menulis siapa saja yang
diingatnya.
Jleb. Mata saya
tertuju ke tulisan yang baru saja dibuatnya.
Yang ditulisnya adalah dua saudara saya yang masih hidup, dan saudara
ipar dari kakak saya. Sementara saudara ipar dari adik saya, dan(alm) abang
saya yang sudah meninggal saat saya masih berusia SMA dia tidak ingat. Oke,
saya anggap masih wajar. Abang saya,
mungkin terlupa saya ceritakan, dan fotonya juga tidak ada. Sementara adik ipar saya, karena mereka baru
saja menikah tahun ini, sementara intensitas komunikasi terbatas selain jarak,
hubungan dengan adik juga belum lama, kemudian mereka memutuskan untuk
menikah. Tapi... Saya terkejut dengan
bagian saudara babahnya. Tidak ada yang
diingatnya #upps. Apa yang terjadi?
Padahal kalau lebaran, prioritas pertama kali adalah ke rumah mertua saya. Tempat tinggal saudara suami, beberapanya
masih satu kota dengan kami. Sementara
saudara saya semuanya berbeda kota. Apakah kesan atau memang usia paman dan
bibi dari babahnya terpaut jauh, seolah-olah lebih layak di panggil nenek atau
kakek, ketimbang paman atau bibi? Atau saudara dari pihak saya lebih suka
dipanggil bunda, papa, dan babe sehingga kesannya lebih akrab dan sejajar
dengan orangtuanya?
Ternyata, proses dalam proyek ini bukan hanya memperhatikan
objek sesungguhnya (anak), namun orangtuanya juga perlu direview hal apa saja
yang terlewat.
Setelah melihat tulisan tersebut, barulah aku mencoba
memberi ingatan kepada anak-anak mengenai peristiwa yang mereka alami bersama beberapa saudara kandung babahnya.
"Kalo lebaran, abang itu suka ketemu sama saudara babah
loh... yang dipanggil uwak-uwak itu. Nah
itulah saudara babah semua. Ada juga
yang dipanggil om.” Kataku mengingatkan.
“Semuanya? Saudara babah ya?” tanyanya seperti tidak yakin
“Iyaa...” jawabku
“Banyak sekali. Tapi
abang juga gak tau namanya.”
Aku pun jadi mengingat kembali, memang kenyataannya
panggilannya kepada saudara iparku hanya sebatas panggilan uwak, tidak
ditambahkan embel-embel nama. Berbeda
dengan saudara kandungku yang sejak awal menambahkan embel-embel nama setelah
panggilan bunda, atau papa. Jumlahnya
juga tidak sebanyak iparku.
“Jadi sudah tahu yang mana saudara babah?” tanyaku ulang
“Iya, abang ingat.
Pokoknya banyak. Semuanya kan”
jawabnya.
Sebenarnya aku tidak merasa yakin. Selain jawabannya adalah ‘semuanya’
(jangan-jangan tamu-tamu yang datang, atau yang sebenarnya adalah di posisi sepupu,
bukan saudara kandung babahnya, termasuk di semuanya..hmm..), dan karena
seingatku, anak dari kakak iparku yang sudah menikah dan usianya lebih tua dari
adikku, rasanya pernah dipanggil om oleh Abang.
Aah.. tapi sudahlah. Paling tidak
dia sudah bisa menggambarkan siapa saja yang masih dalam lingkup branch family
meskipun urutannya bisa saja salah. Itu
baru pertanyaan tentang paman dan bibinya.
Belum membahas sepupu-sepupunya yang rentang usianya sangat beragam. hohooo..
“Umi..., Bagaimana kalau kita lihat album foto?”Abang
memberi usul
“Adek mau juga. Lihat
foto adek.” Adek ikut menimpali.
Ditahap pertama ini, jadilah kami memulainya dengan mendata,
melihat foto lama dan bercerita-cerita untuk mengingat siapa-siapa saja yang
masuk dalam branch family kami.
Besok ngapain lagi ya? Ada yang mau kasih usul?
#day4
#KuliahBundaSayang
#GameLevel3
#FamilyProject
#MyFamilyMyTeam
#GameLevel3
#FamilyProject
#MyFamilyMyTeam
*With LOVE,
@her.lyaa
0 Komentar
Yuk tinggalkan komentar baik dan cerdas🤗
Terimakasih... 🙏