"Bukan tentang apa yang kamu tinggalkan untuk anak-anakmu, melainkan apa yang kamu tinggalkan dalam diri anak-anakmu" - anonim
Kutipan yang saya temukan ini terasa sangat membenarkan apa yang saya rasakan sebagai anak, dan bisa jadi sebagai pengingat saya sebagai orang tua bagi anak-anak saya.
...
"Yang penting jangan nyerah aja! Kalau nyerah, bukan hidup! Menangis boleh, meratap jangan!"
Terdengar sadis? Kasar? Terpojok? Terintimidasi? Atau justru dapat mengarahkan seseorang untuk memperkuat keputusannya bunuh diri?
Kalimat yang entah saya lupa kapan pertama kalinya saya dengar dari mulut mama. Namun terasa seringkali kalimat itu terngiang di telinga setiap kali merasakan kesulitan, dan kesedihan dari sebuah kondisi diluar ekspektasi saya bahkan setelah mama telah tiada.
Dimata saya mama sosok yang gigih dan pantang menyerah. Meskipun mama juga memiliki hal-hal yang terkadang sedikit membuat saya 'ngambek' dengan hadirnya beberapa list tugas dan (banyak) aturan di rumah. Apakah hal tersebut merupakan salah satu kegigihan mama dengan menargetkan life skill bagi saya ya? Hohoho...
Hingga pada akhirnya sayapun saat ini menjadi seorang ibu. Pengalaman masa kecil dengan seorang ibu yang gigih memberikan pengalaman bermakna dalam perjalanan hidup, terlebih saya dianugerahi dua orang anak yang terus bertumbuh.
Anak-anak selalu belajar bagaimana setiap hari orangtuanya bertindak, bukan hanya tentang menerima nasehat, apalagi sekedar quote cantik yang tertulis dengan apik untuk dijadikan pajangan dinding rumah. Bukan hanya tentang apa yang dilakukan bersama tidak peduli betapa indahnya percakapan atau kegiatan tersebut.
Tidak selamanya pola pengasuhan orangtua yang saya alami semuanya diterapkan kepada anak-anak saya. Seperti Ali bin Abi Thalib RA katakan, "Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu". Namun keyakinan mendidik karakter baik tidak akan pernah lekang oleh waktu.
Pilihan saya menjadi ibu rumahtangga memberikan keuntungan banyak waktu bagi saya memperhatikan interaksi kecil yang saya lakukan bersama anak-anak. Menjadi lebih fokus melihat bagaimana cara saya menanggapi mereka versus apa yang saya lakukan. Mencatat perilaku yang anak-anak tunjukkan yang mungkin telah mereka pelajari dari saya (misalnya ketika saya mengatakan "5 menit lagi" kemudian baru bergerak setelahnya dikala sedang sibuk melakukan sesuatu)
Banyak panduan, buku parenting dan nasehat sekitar yang mudah ditemukan untuk memberitahu anak-anak menjadi baik, menghormati, lebih perhatian terhadap sesuatu. Namun saat kita dapat mengajarkan karakter anak melalui tindakan, begitulah cara mereka belajar.
Beberapa hal yang akhirnya terus menjadi pembelajaran dan catatan saya agar dapat bertumbuh baik bersama anak-anak untuk mengajarkan karakter melalui tindakan dibandingkan perkataan.
Bagaimana bayangan menghormati dimata Anda? Mencium semua tangan orngtua yang Anda temui? Apakah Anda yakin di masa pendemi seperti sekarang hal tersebut baik-baik saja untuk dilakukan? Bagaimana pula jika posisi Anda sebagai orangtua? Menyodorkan tangan Anda untuk selalu dicium oleh seseorang yang Anda anggap lebih kecil?
Saya tidak akan mengatakan itu adalah sikap yang salah. Bahkan hingga hari ini sikap tersebut masih saya anggap sebagai salah satu cara menghormati orang yang lebih tua, namun saya tidak menganggap hal tersebut menjadi satu-satunya cara menghormati orang yang lebih tua, bahkan jika sudah melakukan hal tersebut belum tentu benar-benar hormat kepada yang lebih tua.
"Menghormati (bagi saya) lebih kepada bagaimana cara berinteraksi dengan lebih dalam" @her.lyaa
Menunjukkan kepada anak-anak bahwa apa yang mereka katakan penting bagi saya dengan mengajak duduk bersama atau jika si kecil sedang berdiri, sayapun tetap berusaha membuat posisi sejajar dengan berlutut agar dapat menatap matanya ketika mereka berbicara dengan saya.
Terkadang anak-anak juga ingin segera mengutarakan apa yang diinginkannya, termasuk saya sebagai orangtua. Sejujurnya saya masih sering terlupa di saat saya sedang melakukan obrolan penting, rasanya terdistraksi menjadi hal yang cukup mengganggu.
Sebagai orang tua kerap kali dengan mudahnya kita bicara, "Sebentar ya nak, ibu sedang bicara penting, setelah selesai baru boleh bicara". Sayangnya orangtua juga lupa memberi tahu kapan waktunya selesai, atau lupa menanyakan kembali apa yang anak ingin bicarakan, sementara disaat anak-anak sedang asik melakukan kegiatan yang menurutnya penting, dengan mudahnya kita memberi instruksi atau memotong pembicaraan mereka bersama temannya tanpa meminta ijin bahwa ada hal penting yang akan Anda sampaikan.
Yah.. sayapun masih belajar untuk menghormati privasi mereka, dengan harapan merekapun menghormati privasi saya.
Menghormati dengan mencoba memberikan tanda non verbal disaat sangat sulit mengutarakan secara verbal, seperti mengangkat tangan atau melambaikan tangan di saat akan mencoba menyampaikan sesuatu yang benar-benar penting termasuk mengulurkan tangan disaat akan menyeberang jalan, bagi saya cukup worthed. Tidak terlihat mengintimidasi, tapi memberikan kesan agar dapat perhatian.
Disaat -saat yang terjadi diluar bayangan, seperti anak tiba-tiba sakit keras termasuk "kenakalan" versi kreatif anak-anak bisa saja membuat emosi naik turun.
Perasaan menggoda untuk berteriak bisa datang kapan saja. Salah satu metode tarik napas dalam sambil menghitung perlahan, termasuk bagian yang paling saya minati untuk mengatasi cara cepat. Terlihat diam sesaat, kemudian menata hati dan mencoba berpikir jernih.
Tertawa bahagiapun bagi saya juga butuh batasan. Pernahkah Anda merasakan saat-saat dimana Anda terlalu bahagia, kemudian tanpa sadar akhirnya membuat Anda menangis?
Ya...sampai hari ini, saya terus berlatih dan bertumbuh bersama anak-anak untuk menata emosi dan tidak mudah terprovokasi oleh keadaan yang justru lebih penting dicari solusi permasalahan yang bisa saja muncul tanpa peringatan.
Tegas dan komitmen pada anak artinya juga tegas pada diri sendiri. Kontrol diri bukan hanya tentang menata emosi disaat marah, bahagia, sedih, cemas dan berbagai jenis emosi lainnya. Kontrol diri juga berarti pertahanan diri disaat pembatasan sedang terjadi.
Ketika orangtua melarang anak-anaknya jajan sembarangan, kenyataan pahitnya justru orangtua dengan mudahnya jajan sembarangan kemudian menikmati jajanannya tepat di hadapan anak-anaknya sendiri.
Kekuatan orangtua berkata, "Sudah cukup makan kue coklatnya hari ini," Bagaimana dengan Anda? Apakah masih mencuri kesempatan untuk mengambil secuil, kemudian secuil lagi hingga tanpa sadar pada akhirnya telah menghabiskan satu potong?
Belum lagi disaat aturan senioritas melekat dalam diri orangtua. Pasal tanpa tertulis yang menyatakan orangtua tidak pernah salah. Jika anak menganggap hal tersebut sah-sah saja, bukan tidak mungkin kata maaf bermakna akan semakin sulit tersampaikan bahkan bisa saja membentuk anak-anak tidak pernah mengetahui bagaimana sebuah kebenaran dapat diperjuangkan.
Anak dan orangtua sama-sama manusia yang memiliki hati dan perasaan. Jangankan anak, sebagai orangtua yang jelas-jelas memiliki usia lebih dewasa, ketika dihadapkan pada sebuah masalah, memiliki seseorang yang mau berempati rasanya adem ayem kan?
Keluhan anak seringkali tidak tampak seperti 'masalah besar', padahal bisa jadi hal tersebut merupakan hal yang serius. Meluangkan waktu untuk berempati dan mencoba memahami ikut mengajarkan sebuah rasa kasih sayang dan peduli terhadap sekitar.
Menunjukkan rasa tanggungjawab terhadap diri sendiri dengan mengkonsumsi makanan sehat, merawat kebersihan, tanpa sadar ikut memberikan contoh bagaimana kita bersikap menghargai dan menyayangi diri sendiri. Bagaimana cara kita menghargai diri kita secara tanpa sadar merangkul anak-anak saling belajar menghargai satu sama lain? Setuju?!
"Ayo, bilang terimakasih sama om!"
Sering mendengar atau justru Anda sendiri sering mengucapkannya sebagai instruksi untuk anak-anak Anda? Apakah mereka memahami ucapan terimakasih itu untuk apa? Atau yang penting mengucapkan kemudian berlalu dan pergi?
"Ucapkan saja terimakasih. Seperti itu jangan dibuat sulit!" *Ehh
Saya lebih menginginkan anak-anak menjadi sosok yang berterimakasih menjadi sesuatu hal yang bermakna. Selaras dengan sebuah permintaan maaf dan tolong. Sehingga merekapun tidak menjadi sekedar membantu di saat orang lain benar-benar membutuhkan pertolongan, meminta maaf kemudian dengan mudah mengulangi kesalahan yang sama, atau sekedar berterimakasih hingga lupa bersyukur karena telah mendapatkan banyak hal baik yang terjadi dalam hidupnya.
Betapa bahagianya jika acara makan bersama menjadi rutinitas saling membantu dan berterimakasih. Menyiapkan meja bersama, menyusun lauk, hingga membereskan setelahnya.
Hal-hal yang awalnya terasa kecil, lambat laun semakin membuat anak-anak semakin merasa dihargai, lalu menjadi candu berbuat lebih baik lagi. Hargai hadiah kecil dalam hidup misalnya betapa cerahnya matahari pagi, berkabar kembali dengan teman lama, termasuk mengucapkan terimakasih saat dilayani pramuniaga supermarket, dan banyak hal lainnya. Katakan dengan bahagia.
Minta maaf dan memaafkan adalah dua kata yang berbeda peran dan posisinya meskipun keduanya memiliki perasaan yang (seringkali) sama tidak enaknya.
Beberapa orangtua masih ada yang sulit mengucapkan kata maaf kepada anak-anak dengan dalih lebih berpengalaman dalam hidup, lebih dulu hadir, mengurus termasuk membiayai semua kebutuhan seorang anak. Padahal maaf seringkali tidak ada korelasinya dengan hal-hal tersebut. Rasa gengsi dan merasa usia lebih tua pun dapat mempengaruhi lidah mengucapkan maaf kepada seorang anak kecil meskipun hanya karena hal sepele (seperti tanpa sengaja Anda membuang kertas gambar anak yang seperti coretan tanpa arti namun bak lukisan maestro bagi seorang anak, upss)
Minta maaflah kepada anak meskipun tanpa sengaja perkataan kita menyakiti perasaannya. Minta maaf di saat kita tanpa sengaja membuang hasil karyanya karena terlihat seperti tumpukan sampah, nyatanya dibuat dengan susah payah dan sepenuh hati dalam proses pembelajarannya. Juga memaafkan anak Anda atas kata-kata dan tindakan yang menyakitkan disaat mereka belum benar-benar memahami bagaimana bersikap dan berkata-kata. Berikan pengertian dan contoh tentang maaf dan memaafkan.
Anak akan belajar dengan melihat apa yang terjadi di sekitarnya setiap saat. Memberikan sesuatu yang positif bukan hanya quote cantik yang nantinya akan menyempurnakan proses pembelajaran dalam hidupnya termasuk ikut mendewasakan kita mendampinginya, karena bertumbuh bersama rasanya tidak hanya dengan kata-kata bukan?
Semua butuh proses. Semoga saya, kita semua yang menjadi orangtua, terus bertumbuh bersama anak-anak untuk menjadi lebih baik lagi.
Bagaimana menurut pendapat Anda? Bantu tambahkan nilai positif dalam kolom komentar ya? Terimakasih....
2 Komentar
Tulisan yang menarik, Mba terlebih untuk saya yang juga seorang ibu. Saya tertarik untuk mencoba salah satu poin yang Mba tuliskan yaitu meminta waktu kepad anak saat sedang bicara dengan orang lain. Sebab, saya masih suka bingung harus bagaimana bersikap saat anak saya tidak sabar untuk mengajak saya mengobrol atau bertanya sesuatu saat saya sedang berinteraksi dengan orang lain, misalnya Bapaknya sendiri.
BalasHapussemangat bertumbuh♥️
HapusYuk tinggalkan komentar baik dan cerdas🤗
Terimakasih... 🙏